Ia
Pada suatu sore ia memandang langit yang warnanya abu, yang cerahnya tidak membuat para pekerja resah akan pulang naik apa. Ia nyatakan ia bosan dengan dunia. Yang lebih tepatnya ialah dunianya. Dunia yang ia kenal. Dunia yang mengitarinya. Ia mencari mentari sore itu, ia selalu jatuh hati pada sinar keakraban. Tak ada angin, tak ada hujan, tak ada senyum. Lelah dengan dunia dan seisinya yang tak kunjung memberi aba, kapankah ia akan kembali seperti sebelum 12 bulan itu? Kapankan tawa dapat menghiasi harinya secara nyata?
Ia kecewa pada sekitarnya, yang tidak bisa memberi aman padanya. Ia nyatakan cerita itu pada pohon kelapa di belakang rumahnya, ia takut percaya pada manusia. Lebih tepatnya, ia takut untuk tidak diindahkan ceritanya. Sehingga ia lebih suka berbicara pada tumbuh-tumbuhan atau ikan cupang yang ia jadikan teman. Pada sore itu ia memimpikan sebuah rumah, rumah yang memiliki beranda agar ia bisa bermain bola basket tanpa tatap remeh. Agar ia dapat menulis puisi di sebuah bangku panjang yang atos tapi menyamankan. Agar puisinya dapat diterbitkan dan disebarkan.
Ia, merasa seperti memiliki dunia dan seisinya jika ada yang mengaguminya—red: tulisannya.
Labels: Sajakku