Paling dan Selalu.
Siapa
sih yang nggak mau jadi paling dan selalu di kehidupan seseorang? –paling dicari,
paling mengerti, paling tahu, selalu dibutuhkan, selalu dijadikan tempat pulang. I think most
of people ever thought to feeling like this, yeah? Paling tidak sekali dalam
hidupnya. Sekarang atau nanti. Tetapi kadang seseorang suka lupa, buat saling–saling
menjaga, saling mengerti, saling menjadikan rumah. Kadang, kita terlalu sibuk
buat menjadi orang yang paling dan selalu untuk orang lain. Tetapi malah nggak
ada waktu dan tempat untuk diri sendiri. Untuk kehidupan kita sendiri. Kadang
pula, kita terlalu fokus bangga akan diri kita yang merasa paling dan selalu
buat orang lain, padahal itu cuma menurut kita, menurut dia enggak. Kita emang
sering, bahkan terlalu sering, hidup dalam garis imajiner kita sendiri.
Membiarkan apa-apa itu hadir, bersemayam, menetap, menjamur, menimbun penyakit.
Dan kita nikmati luka itu. Diam-diam mencintai, diam-diam merindukan, diam-diam
mengharap hadirnya, diam-diam menyakiti diri sendiri. Katanya, “Feeling is
healing” dengan berarti yaudah rasain aja rasanya, kan perasaan ini sebuah
penyembuhan, toh perasaan ini buat aku nyaman. But, I’d rather think that isn’t
so true. Bagaimana bisa kita sebut
“Feeling is healing” bahkan ketika merasakannya kita malah semakin ingat,
semakin sedih, semakin hilang, semakin banyak menangisnya. Apa itu proses
penyembuhannya? Jika iya, mengapa kita bukannya semakin menerima. Namun, malah
semakin luka.
Kadang,
iya kadang, karena nggak selalu. Kita nggak perlu merasakannya untuk mendapat
penyembuhan.
Labels: Ngomong Aja
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home