Monday, August 3, 2020

Satu.

           


            Ta nggak pernah ingin menyusahkan siapapun. Kalaupun dia bisa lahir di dunia ini dengan usahanya sendiri tanpa bantuan ibu dan bapak. Ta akan sangatlah senang. Ta merasa Ta tidak membutuhkan mereka, ibu dan bapak, bagi Ta hanyalah jalan pintas Ta untuk dapat terjun di bumi ini. Bagi Ta, mereka sama saja seperti orang-orang lain yang tidak penting di luar sana. Meskipun, dia sedikit menyangkal, bahwa tanpa mereka, Ta tidak akan hadir di bumi ini.

            Jika sekarang Ta punya banyak uang, Ta pasti akan memilih untuk tinggal sendiri, mencari tempat dimanapun ia ingin tinggal. Bukan malah terjebak di atap yang sama bersama ibu dan bapaknya. Ta tidak suka, namun, bukan berarti membencinya. Hanya tidak suka, tolong digaris bawahi. Di dunia ini, ada manusia-manusia yang beruntung, kaya sejak embrio. Alias kaya secara struktural. Lahir dengan menyewa seorang fotografer untuk merekam momen-momen yang akan si bayi kenang saat ia beranjak dewasa, padahal sudah dipastikan ia tak akan ingat. Ta tidak ingin hal itu, tapi ia ingin menjadi orang kaya.

            Baginya omong kosong, jika manusia-manusia itu berkata bahwa hidup tak melulu soal uang. Bahagia bukan soal uang. Toh, sebenarnya lagi, jika Ta bisa memilih, Ta lebih memilih untuk lahir dengan banyak harta daripada kasih sayang ibu dan bapak. Dan lagi-lagi, kasih sayang dan keluarga bagi Ta hanyalah omong kosong. Ta tahu, adil tak harus sama, tapi Ta tidak pernah paham, mengapa yang nomor satu selalu diutamakan, nomor dua selalu diduakan, nomor tiga selalu dibebankan.

            Menurut cerita orang-orang sih, Ta juga tidak tahu, karena baginya waktunya terlampau berhaga untuk memikirkan hal-hal semacam itu. Bulshit! Ta tidak paham mengapa keluarga diciptakan.

Yang Ta suka ialah teman. Teman yang selalu men-support Ta saat dalam keadaan terpuruk, Teman yang siap membawa Ta keluar dari terowongan busuk yang paling gelap, Teman yang tidak pernah menghakimi Ta ketika Ta melakukan sebuah kesalahan. Teman yang menerima segala presepsi Ta tentang hidupnya.

            Yang Ta suka ialah materi, harta, kekayaan. Ta bukan manusia yang suka boros, ia suka hidup minimalis. Tapi bagaimana mau hidup minimalis, wong hidupnya saja pas-pasan. Maka dari itu, Ta suka kekayaan. Jika Ta punya harta yang banyak, Ta ingin membaginya seminggu tiga kali, Ta ingin membeli barang sewajarnya, Ta ingin membeli satu saja boneka penguin yang paling besar, Ta ingin membeli sebuah handphone berkamera paling bagus dan tidak akan menggantinya sampai rusak. Ta ingin.

            Teman belakangan ini jarang kelihatan. Biasanya Teman selalu menunggu Ta di bawah jembatan sebelum ia ke bekerja di tempat fotocopy. Dua hari ini Ta tidak melihat Teman, entahlah apa Teman marah kepada Ta, karena terakhir kali mereka bertemu Ta membuatnya marah perihal minuman. Ah masa bodo bagi, Ta. Paling marahnya juga tidak akan lama seperti biasanya.

            Pagi ini Ta bangun pagi, bersiap pergi ke sekolah. Hari ini hari pertamanya masuk sekolah setelah libur panjang lebaran. Seperti biasa, Ta mendahului bapak, ibu, dan adiknya. Ia membuat telur ceplok goreng untuk dirinya sendiri yang kemudian langsung disantapnya saat masih panas-panasnya bersama nasi hangat setengah centong. Sebenarnya bisa saja Ta mengambil satu centong nasi, namun ia enggan. Bukan karena takut nasi untuk keluarganya tidak cukup, tapi Ta tidak suka menyisakan nasi di piringnya. Masa bodoh dengan cukup atau tidak. Ta Sang egois. Ta berangkat sekolah, ketika para penghuni rumah masih terlelap. Tepat sepulang Pak Ustaz tadarus dari musala,

 

            Ketika sampai di bawah jembatan tempat Ta dan Raha biasa bertemu, matahari mulai meninggi. Ta duduk di samping salah satu tiang jembatan yang mulai rapuh. Pikiran liarnya mulai mengira-ngira, kapan jembatan ini akan ambruk, apakah 5 tahun lagi saat ia sudah lulus SMA, atau malah tahun depan atau secepatnya?

            Seseorang menepuk pundak Ta, saat Ta asyik berkelana dengan pikirannya,

“Sudah lama?”

“Sudah nggak marah?”

“Aku tanya malah balik nanya. Nih.”

Raha menyodorkan minuman kaleng yang kemarin membuat Raha dan Ta berselisih.

“Aaa! Asyikk, jadi aku sudah boleh minum ini?”

Ta menggoyangkan minuman kalengnya.

“Kalau ketahuan bapakmu aku nggak mau disalahkan.”

“Nggak akan ketahuan. Tenang..”

Raha mulai duduk di samping Ta.

“Trus kalau tidak marah, dua hari kemarin kamu kemana?”

“Aku lembur. Sekarang sedang musim mahasiswa baru, banyak yang minta nge-print

“Ohhhh..”

“Kamu tidak pergi ke sekolah?”

“Ya ini ingin pergi, tapi kamu sepertinya nggak mau ditinggal.”

“Sok tahu kamu!”

Raha menempeleng kepala Ta.

“Ihh sakit tahu, yasudah aku mau sekolah dulu biar nggak jadi tukang fotocopy sepertimu.”

Ta mulai berdiri kemudian membersihkan debu di belakang rok biru tuanya.

“Hei! Memang apa salahnya jadi tukang fotocopy!”


Labels:

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home