Satu.
Ta nggak pernah ingin menyusahkan siapapun. Kalaupun dia bisa lahir di dunia ini dengan usahanya sendiri tanpa bantuan ibu dan bapak. Ta akan sangatlah senang. Ta merasa Ta tidak membutuhkan mereka, –ibu dan bapak, bagi Ta hanyalah jalan pintas Ta untuk dapat terjun di bumi ini. Bagi Ta, mereka sama saja seperti orang-orang lain yang tidak penting di luar sana. Meskipun, dia sedikit menyangkal, bahwa tanpa mereka, Ta tidak akan hadir di bumi ini.
Jika sekarang Ta
punya banyak uang, Ta pasti akan memilih untuk tinggal sendiri, mencari tempat
dimanapun ia ingin tinggal. Bukan malah terjebak di atap yang sama bersama ibu
dan bapaknya. Ta tidak suka, namun, bukan berarti membencinya. Hanya tidak
suka, tolong digaris bawahi. Di dunia ini, ada manusia-manusia yang beruntung, kaya
sejak embrio. Alias kaya secara struktural. Lahir dengan menyewa seorang
fotografer untuk merekam momen-momen yang akan si bayi kenang saat ia beranjak
dewasa, padahal sudah dipastikan ia tak akan ingat. Ta tidak ingin hal itu,
tapi ia ingin menjadi orang kaya.
Baginya omong
kosong, jika manusia-manusia itu berkata bahwa hidup tak melulu soal uang.
Bahagia bukan soal uang. Toh, sebenarnya lagi, jika Ta bisa memilih, Ta lebih
memilih untuk lahir dengan banyak harta daripada kasih sayang ibu dan bapak.
Dan lagi-lagi, kasih sayang dan keluarga bagi Ta hanyalah omong kosong. Ta
tahu, adil tak harus sama, tapi Ta tidak pernah paham, mengapa yang nomor satu
selalu diutamakan, nomor dua selalu diduakan, nomor tiga selalu dibebankan.
Menurut cerita
orang-orang sih, Ta juga tidak tahu, karena baginya waktunya terlampau berhaga
untuk memikirkan hal-hal semacam itu. Bulshit! Ta tidak paham mengapa keluarga
diciptakan.
Yang Ta suka
ialah teman. Teman yang selalu men-support Ta saat dalam keadaan
terpuruk, Teman yang siap membawa Ta keluar dari terowongan busuk yang paling
gelap, Teman yang tidak pernah menghakimi Ta ketika Ta melakukan sebuah
kesalahan. Teman yang menerima segala presepsi Ta tentang hidupnya.
Yang Ta suka ialah
materi, harta, kekayaan. Ta bukan manusia yang suka boros, ia suka hidup
minimalis. Tapi bagaimana mau hidup minimalis, wong hidupnya saja
pas-pasan. Maka dari itu, Ta suka kekayaan. Jika Ta punya harta yang banyak, Ta
ingin membaginya seminggu tiga kali, Ta ingin membeli barang sewajarnya, Ta
ingin membeli satu saja boneka penguin yang paling besar, Ta ingin membeli
sebuah handphone berkamera paling bagus dan tidak akan menggantinya sampai
rusak. Ta ingin.
Teman belakangan
ini jarang kelihatan. Biasanya Teman selalu menunggu Ta di bawah jembatan
sebelum ia ke bekerja di tempat fotocopy. Dua hari ini Ta tidak melihat
Teman, entahlah apa Teman marah kepada Ta, karena terakhir kali mereka bertemu
Ta membuatnya marah perihal minuman. Ah masa bodo bagi, Ta. Paling marahnya
juga tidak akan lama seperti biasanya.
Pagi ini Ta bangun
pagi, bersiap pergi ke sekolah. Hari ini hari pertamanya masuk sekolah setelah
libur panjang lebaran. Seperti biasa, Ta mendahului bapak, ibu, dan adiknya. Ia
membuat telur ceplok goreng untuk dirinya sendiri yang kemudian langsung
disantapnya saat masih panas-panasnya bersama nasi hangat setengah centong.
Sebenarnya bisa saja Ta mengambil satu centong nasi, namun ia enggan. Bukan
karena takut nasi untuk keluarganya tidak cukup, tapi Ta tidak suka menyisakan
nasi di piringnya. Masa bodoh dengan cukup atau tidak. Ta Sang egois. Ta
berangkat sekolah, ketika para penghuni rumah masih terlelap. Tepat sepulang
Pak Ustaz tadarus dari musala,
Ketika sampai di
bawah jembatan tempat Ta dan Raha biasa bertemu, matahari mulai meninggi. Ta
duduk di samping salah satu tiang jembatan yang mulai rapuh. Pikiran liarnya
mulai mengira-ngira, kapan jembatan ini akan ambruk, apakah 5 tahun lagi saat
ia sudah lulus SMA, atau malah tahun depan atau secepatnya?
Seseorang menepuk
pundak Ta, saat Ta asyik berkelana dengan pikirannya,
“Sudah lama?”
“Sudah nggak marah?”
“Aku tanya malah balik nanya. Nih.”
Raha menyodorkan minuman kaleng yang kemarin membuat Raha dan Ta
berselisih.
“Aaa! Asyikk, jadi aku sudah boleh minum ini?”
Ta menggoyangkan minuman kalengnya.
“Kalau ketahuan bapakmu aku nggak mau disalahkan.”
“Nggak akan ketahuan. Tenang..”
Raha mulai duduk di samping Ta.
“Trus kalau tidak marah, dua hari kemarin kamu kemana?”
“Aku lembur. Sekarang sedang musim mahasiswa baru, banyak yang
minta nge-print”
“Ohhhh..”
“Kamu tidak pergi ke sekolah?”
“Ya ini ingin pergi, tapi kamu sepertinya nggak mau ditinggal.”
“Sok tahu kamu!”
Raha menempeleng kepala Ta.
“Ihh sakit tahu, yasudah aku mau sekolah dulu biar nggak jadi
tukang fotocopy sepertimu.”
Ta mulai berdiri kemudian membersihkan debu di belakang rok biru
tuanya.
“Hei! Memang apa salahnya jadi tukang fotocopy!”
Labels: Cerbung
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home