Terkunci dalam Gereja Tua
Hai, kenalin, nama gue Salwa, tapi temen-temen gue lebih banyak yang manggil gue Wawa. Selama ini gue hidup dengan baik, bahkan bisa dibilang sangat baik. Kenapa? Karena gue selalu berusaha menjadi manusia yang baik kepada manusia lain, berusaha untuk menolong dan membantu ketika gue mampu, berusaha selalu peduli dan menaruh rasa empati terhadap apa yang terjadi, baik itu di sekitar gue maupun segala sesuatu hal yang berada di luar jangkauan gue. Selama ini, gue juga merasa bahwa orang-orang yang membenci gue dapat dihitung dengan jari. Ge-er gue, sih. Karena gue nggak suka cari musuh, gue nggak suka perselisihan, gue nggak suka benci-membenci, gue mencintai kedamaian. Dulu, gue selalu berusaha buat menyenangkan orang lain, membuat orang lain agar dapat selalu merasa nyaman di samping gue, ingin merangkul semua teman-teman gue. Ternyata, lambat-laun gue sadar, gue cuma bikin capek diri gue sendiri. Nggak jarang gue terjerumus ke dalam kedalaman empati gue sendiri, ketika ada sesuatu hal buruk yang menimpa teman gue dan gue udah berusaha membantu, gue terbelenggu dengan pikiran gue sendiri, apa itu cukup? Apakah gue nggak bisa melakukan hal lain yang lebih dapat memberi impact untuk dia kedepannya? Ketika melihat teman gue yang lain tidak se-empati itu (kelihatannya), gue merasa muak, ingin marah, kenapa dia seperti itu, kenapa dia tidak dapat menunjukkan empatinya sedikitpun? Padahal nggak ada yang tahu, kalau dia diam-diam udah membantu, padahal juga perihal empati-nya bukan urusan gue.
Ya, people named it Highly Sensitive
Person?
Lalu, suatu hari gue bertanya pada diri gue sendiri, gue happy nggak, sih, kayak gini? Berusaha membuat semua orang biar nyaman cerita sama gue, berusaha buat menjadikan semua orang sebagai teman. Lalu, suatu hari gue terbangun dan sadar. Kalau nggak semua orang harus suka sama gue, nggak semua orang harus nyaman temenan sama gue, nggak semua orang yang gue inginkan temanan sama gue bisa dan mau temanan sama gue. Pasti ada yang diem-diem ngomongin gue, ada yang diem-diem sebenernya dia benci sama gue, tapi baik di depan. Iya, kayak gue, gue pasti ada sebel sama orang, nggak suka sama orang, benci sama orang (walaupun gue nggak suka membenci kadang perasaan ini nggak bisa dikontrol). Yang mana gue juga adalah seseorang, semua itu dapat terjadi juga pada gue. Gue mulai menjadi egois, mementingkan kebahagiaan dan kenyamanan gue di samping kebahagiaan orang lain, gue mulai nggak bersusah payah untuk me-nyaman-kan orang lain ketika curhat sama gue, gue mulai membangun boundaries ke diri gue sendiri, gue mulai nggak peduli sama orang yang nggak peduli sama gue, gue mulai memperkecil lingkaran pertemanan gue. Gue mulai belajar dan memahami sebenernya arah hidup gue mau gue bawa ke mana, sebenernya prinsip-prinsip di hidup gue itu kayak apa. Gue mulai belajar.
Selama ini gue hidup dari apa yang gue nantikan, selama ini gue menjalani hidup dengan menanti apa yang gue impikan. Waktu SMA gue belajar untuk menantikan duduk di bangku kuliah, travelling sana-sini, mendapat pacar. Waktu kuliah gue menantikan, hari ini gue bakal ketemu siapa, nanti siang mau makan apa, besok mau pake pakaian apa, weekend mau pergi ke mana. Semua itu yang membuat gue tetap merasa hidup dan merasa memiliki harapan, gue suka bertambah tua, yang mana waktu gue menuju apa yang gue inginkan semakin didekatkan. Tapi berkat pandemi ini gue merasa hancur-sehancur-hancurnya, semua seperti dipaksa berjalan mundur atau diam di tempat. Seperti yang seharusnya, usia 20 gue udah pergi ke Malang, Surabaya, Bali, Banyuwangi. Tapi gue terpaksa diam di tempat, karena keadaan nggak memihak. Atau, juga seperti yang seharusnya di usia 20 gue udah bisa nulis buku, nerbitin buku, dapet ilmu sana-sini karena sering diskusi di kampus, semua seperti dipaksa mundur, di usia 20 gue diberi ruang untuk kembali berperang pada diri sendiri.
Terlebih lagi nggak ada yang tahu, satu tahun, dua tahun, atau tiga tahun.
Gue agak sedikit marah sama Tuhan waktu itu, tapi gue lebih banyak marah ke diri sendiri. Karena gue lagi-lagi hingga sekarang belum dapat berkawan dengan keadaan. Gue masih belum bisa mengendalikan diri dan emosi gue. Gue menulis ini, karena saat ini gue lagi merasa nggak seperti hidup. Nggak ada hasrat. Hasrat mencintai, hasrat belanja, hasrat pamer, hasrat jajan, hasrat pergi ke suatu tempat. Karena biasanya gue selalu hidup berorientasi dengan hasrat‒hanya merasa ini seperti bukan gue.
Kecuali hasrat ingin dicintai, sih, nggak
pernah hilang L #sadgurl
Seperti terjebak dalam gereja tua yang
terkunci dari dalam.
Nggak tahu mau menantikan apa karena nggak
pergi ke mana mana, nggak bertemu siapa-siapa, nggak melihat orang-orang saling
berlomba-lomba. Salah gue sih ya, karena menjalani hidup dengan menantikan
sesuatu di masa depan. Saat waktu tetap berjalan tapi terasa berhenti,
kalang-kabut, deh. Bentar deh, gue mau nyari konsep hidup yang baru dulu. Atau,
harusnya gue punya konsep serep kali ya. Oke! Gue akan mencoba mencari cara untuk
keluar dari gereja tua tanpa merusakkan pintunya.
Labels: Ngomong Aja
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home