Posts

Showing posts from 2021

tulisan minggu kemaren

Kadang kalo seharian sibuk, keluar, ketemu orang banyak, banyak yang dikerjain, kita perlu waktu diem bentar, ngelamun, kontemplasi, seharian abis ngapain aja, ngasih waktu ke diri sendiri buat ngobrol sama diri sendiri. Capek, ya? Happy, nggak?. Atau sekadar ya mengkontemplasi hal-hal yang mustahil, yaaa biar ngobrol aja sama diri sendiri. Biar… Masih tahu apa yang pengen dicapai, biar masih ngerasa berpijak di bumi, biar waras. Berhubungan sama orang lain itu capek. Tapi kesepian lebih capek. Kadang hati ini kayak nggak berpijak di bumi, melayang-layang, kayak kuyan9. Inhale…. Exhale…Inhale…Exhale….Sadar bumi nggak sepenuh dan sesempit itu sampai di mana-mana harus ramai. Kamu masih bisa diem sendiri di keramaian dan nggak ada satu orangpun yang peduli. Kamu masih bisa pergi beli kopi kenangan, duduk sendiri sambil lihatin orang-orang pada bareng orang-orang. Sapu, keramaian yang ada di perasaan dan pikiran. Dunia nggak serame-rame itu, kok. Calm. Semua pasti bisa dikerjain dan diata

update kehidupan.

Bingung mau ngapain, nggak papa, Bro.  Hem, gini-gini doang, sebenernya. Mau kerja udah apply sana-sini nggak ada yang nerima, it’s ok, Nyet.  Jalani aja hari-hari penuh kejutan dan sebel-sebel kecil. Have been a heart break but it’s okay, kadang seru juga galau-galau nggak jelas, ngarepin orang yang ngarepin orang lain, trus kayak saling tau-tauan lewat insta story, lucu. Padahal kalo di-chat juga bakal dibales, tapi enggak. Listening on lagu-lagu baru dari playlist friendlist spotify lucu juga, cocok dikit masukin playlist, biar edgyYYYY. Baca-baca di google tentang genre lagu, walau agak bodoh, tapi learning something new boleh juga, biar menjadi perempuan berwawasan luas, huek cuih. Lagi mikir belakangan, duh otak gue kok gini-gini aja ya isinya, nggak berkembang, nggak bisa discuss, pinter apa ya gue, ngerasa menjual banget apa, ya, karakter gue. Asli ini tulisan nggak tahu arahnya ke mana. Barusan gue makan, eh ngga barusan juga deng, makan nasi goreng yang dimasak di magicom pak

siap itu dibuat apa dari sananya?

Lagi ngerasa kayak dunia ini menolak aku. Oke, aku si hobi mendramatisir. Aku berdoa pas aku daftar sesuatu, job maupun sesuatu hal yang aku suka, kalo aku siap tolong terima, kalo aku emang belom siap dan gak siap, gak usah diterima, ga papa. Tapi setelah beberapa penolakan aku jadi merasa papa, apakah aku selalu belum siap dan belum mampu? Apa aku yang merasa capable ini sebenernya gak capable-capable banget? Sebenernya aku decide untuk apa dan di mana? (di FIB UB, yhaaaaa~ KKN fib bosokk hahaha emosi) Apa aku emang cuma dikasih misi buat nulis blog sampe tua yang ngga jelas html dan seo-nya (karena aku mager benerin wkwk) ((si sok ngerti SEO)) Kata Pao aku disuruh nulis novel kali, tapi.... harusnya nggak ada kata tapi, sih di dunia ini, soalnya kita bakal ngasih tapi terus. Apa kali ini Tuhan bilang aku harus babat habis semua penolakan-penolakan sebelum aku mencapai apa yang aku mau? Tapi apa malah di beberapa penolakan-penolakan ini membuat aku hilang arah dan ga tahu apa mauk

lifersation two.

“Ta, ngga mau di sini aja?” “Di mana?” “Di hidup gue.” “Engga, gue ngga sanggup.” “Kenapa?” “I haven’t ready for commit, I fucked up with myself, my life, my sleep schedule, my purpose..” “Gue ga minta?” “Terus?” “Yaaa.. kaya gini aja, gajelas.” “Yang penting?” “I am beside you, you’re beside me, when we need each other, we do. When I need dinner mate, you have to. When you need someone to accompany you to go to somewhere in the middle of nowhere , I will.” “But, when we need to leave each other, we communicate.” “Lo suka relation yang kaya gitu? “ Sometimes kita harus accept , kalo hidup kadang emang butuhnya yang gini-gini aja biar ga stress.”  

Hidup untuk apa; mati untuk siapa

Harus sabar katanya, harus lapang dada katanya. Tapi nggak pernah ada yang ngajarin, nggak ada yang mau sama-sama melajarin, harus belajar dan cari tahu sendiri. Ada beberapa orang yang kirain mau belajarin bareng, ternyata cuma kirain.   Hidup ini emang punya kita doang, yang lain ngga ada, enggak. Ngontrak. Aku deng.   Padahal kamu cuma mau didenger, kan? Aku juga sama, dia juga sama, mereka juga sama. Tapi kita semua nggak mau diem dulu buat denger dulu. Trabas aja nggak mikirin yang lain-lain. Aku juga, kadang. Terus aku sendiri yang patah, nggak tahu maunya apa. Hidup untuk apa; mati untuk siapa.   Mau ngejar apa yang dimau, yang dimau nggak mau. Nafas berat; mau matipun masih pengen makan sate.      

mereka bilang

Dunia ini seperti malam-malam sumbang, riuh-riaknya tak terbayang. Berjingkat ke sana ke mari, tapi tetap saja berganti hari. Siang hari selalu tidak memikat, bak tiada secercahpun berkat, riuh-riaknya selalu dirasa singkat. Katanya, kesedihan dan kesenangan akan silih berganti. Faktanya, hanya kesedihan yang datang menghampiri. Mereka bilang, jika ingin maka cari sendiri, berlari ke sana ke mari tidak pula kutemui. Mereka bilang, senang itu sumbernya dari dalam diri, maka kutelusuri malah semakin rendah diri. Mereka bilang, kesabaran ialah janji-janji penuh arti. Bukan kepalang, kelapangan seperti hanya datang kepada manusia pemikat atensi.

mungkin di lain petang.

“Aku suka bagaimana cara dia memanusiakanku, berada di sekelilingnya aku seperti menjadi manusia paling beruntung dan berharga di dunia, I’ve never felt it before” “Kukira aku akan menjadi kebanggaannya, ternyata aku belum terlalu cukup” “Tau, Sa, apa hal yang paling sulit untuk dilakukan dan dipahami, aku nggak paham mengapa aku harus membencinya dan melupakannya karena dia nggak punya kesalahan apa-apa, aku nggak tahu mengapa awal yang aku kira akan menjadi pintu matinya kepahitan di hidupku menjadi gerbang lain yang menggambarkan siapa diriku sebenarnya” “Aku bingung, aku yang sebenarnya yang siapa dan ada berapa” “Rasa suka sebenarnya bisa bertumbuh kan, Sa, jika kita tahu dan mau siapa orangnya” “Tapi memang sepertinya, ia bukan orangku dan aku bukan orangnya” “Kita sama-sama selesai.” “Hal yang lebih membingungkan lagi, aku mengaku patah. Atas harap menjadikannya rumah alih-alih ternyata remah” “Aku patah atas bayang-bayang yang kubayang sendiri” “Sungguh, bukan

kamu.

padahal yang kuingin hanya sebuah rumah sederhana dengan satu jendela tanpa surat apa-apa. padahal yang kuingin hanya sebuah bayang yang selalu dapat kutangkap dalam kegelapan senyata-nyatanya. kukira, lain kali, lain kali—kata Dia dulu kepadaku, akan ia wujudkan jadi kali ini. lalu yang paling menyedihkan adalah, ia menjelma bak rumah yang siap kudatangi dan kutinggali sewaktu-waktu. kontrak tak kontrak sama saja, kau tetap tak akan temukan jalan pulang. sudah gila, sendirianpun pura-pura senang.

lifersation one.

Sore itu ia menangis lagi, ia berpikir mengapa hidup dapat berbuat sedemikian rupa kepadanya. Ia berpikir, mengapa ia diciptakan menjadi manusia yang selalu memusingkan bagaimana hidupnya berjalan terlebih menjalani apapun yang terjadi pada hidupnya. “Sebetulnya, hidup itu perlu dipikirkan nggak, sih, Sa?” Tanyanya pada lelaki berkaca mata yang sedang menjilat es krim di sampingnya. “Ya perlu lah, Ta. Kalo nggak dipikirkan, mana mungkin hidup kita bisa sampai di titik sekarang dan semenyenangkan sekarang?” “Ah, sekarang juga belum begitu menyenangkan, Sa.” “Kalo dipusingkan?” “Mungkin itu yang nggak perlu, Ta. Tapi, kan, setiap manusia punya cara menjalani hidup mereka masing-masing.” “Mengapa semua selalu kembali lagi, ‘ya balik ke orangnya’” cibir Ta. “Kenapa hidup ini nggak kayak matematika aja, yang ada rumus pastinya? Atau yang kaya makalah gitu yang ada sistematikanya?” Sa hanya memandang Ta sejenak lalu menghela nafas, memilih untuk membiarkan Ta menyelesaikan

Ia

 Pada suatu sore ia memandang langit yang warnanya abu, yang cerahnya tidak membuat para pekerja resah akan pulang naik apa. Ia nyatakan ia bosan dengan dunia. Yang lebih tepatnya ialah dunianya. Dunia yang ia kenal. Dunia yang mengitarinya. Ia mencari mentari sore itu, ia selalu jatuh hati pada sinar keakraban. Tak ada angin, tak ada hujan, tak ada senyum. Lelah dengan dunia dan seisinya yang tak kunjung memberi aba, kapankah ia akan kembali seperti sebelum 12 bulan itu? Kapankan tawa dapat menghiasi harinya secara nyata? Ia kecewa pada sekitarnya, yang tidak bisa memberi aman padanya. Ia nyatakan cerita itu pada pohon kelapa di belakang rumahnya, ia takut percaya pada manusia. Lebih tepatnya, ia takut untuk tidak diindahkan ceritanya. Sehingga ia lebih suka berbicara pada tumbuh-tumbuhan atau ikan cupang yang ia jadikan teman. Pada sore itu ia memimpikan sebuah rumah, rumah yang memiliki beranda agar ia bisa bermain bola basket tanpa tatap remeh. Agar ia dapat menulis puisi di sebuah

kecintaan./

Kecintaan hanya butuh dua orang saling mau, dua tangan saling ingin beri, dua bahu saling ingin pinjam, dua isi kepala yang siap saling redam.

Terkunci dalam Gereja Tua

Image
Hai, kenalin, nama gue Salwa, tapi temen-temen gue lebih banyak yang manggil gue Wawa.  Selama ini gue hidup dengan baik, bahkan bisa dibilang sangat baik. Kenapa? Karena gue selalu berusaha menjadi manusia yang baik kepada manusia lain, berusaha untuk menolong dan membantu ketika gue mampu, berusaha selalu peduli dan menaruh rasa empati terhadap apa yang terjadi, baik itu di sekitar gue maupun segala sesuatu hal yang berada di luar jangkauan gue.  Selama ini, gue juga merasa bahwa orang-orang yang membenci gue dapat dihitung dengan jari. Ge-er gue, sih. Karena gue nggak suka cari musuh, gue nggak suka perselisihan, gue nggak suka benci-membenci, gue mencintai kedamaian.  Dulu, gue selalu berusaha buat menyenangkan orang lain, membuat orang lain agar dapat selalu merasa nyaman di samping gue, ingin merangkul semua teman-teman gue. Ternyata, lambat-laun gue sadar, gue cuma bikin capek diri gue sendiri.  Nggak jarang gue terjerumus ke dalam kedalaman empati gue sendiri, ketika ada sesuat